Opini

MENUJU PANCASILA LAHIR-BATIN

Adalah Pancasila, lima pasal substantif yang mengandung nilai keutamaan bagi kehidupan bangsa Indonesia. Keutamaan tersebut akan diuji terus-menerus oleh zaman. Pancasila di masa kini memang masih ada, tapi jika kita renungkan lebih dalam akan timbul pertanyaan mendasar. Apakah Pancasila benar-benar dan sungguh-sungguh ada dalam kehidupan bernegara kita?

Tengok saja, predikat negatif hari ini yang sering dikenakan pada negara Pancasila ini. Dari mulai Indonesia sebagai surganya: para koruptor, pencuri hasil tambang, pembalak hutan, dan narkoba. Tapi, yang mengerikan adalah predikat Indonesia sebagai negara (menuju) gagal. Meskipun deretan predikat itu mungkin saja sekedar asumsi emotif-pesimistis, namun realitas di masyarakat tampak jelas mengarah ke sana. Ke dalam suatu bentuk kegagalan bernegara.

Jika kembali lagi pada konsep awal bangsa ini didirikan – dimerdekakan dari penjajahan – tak bisa tidak untuk bertumpu pada konsep Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila sebagaimana mufakat para pendahulu dimaksudkan menjadi dasar falsafah (philosofische grondslag) bangsa. Kaitannya dengan morat-marit-nya kebangsaan kita hari ini, maka Pancasila boleh dipertanyakan keampuhannya. Bisa saja rumah yang kita bangun akan gagal lantaran fondasinya tak kokoh. Analogi ini menjadi suatu pertanyaan provokatif, apakah Pancasila bukan dasar negara yang tepat (kokoh) hingga mengakibatkan rumah Indonesia kita hampir roboh?

Untuk itu, mendesak untuk memeriksa kembali Pancasila itu secara secara holistik. Misal, dimulai dengan membaca kembali Pancasila secara integral dan objektif. Urgensitas ‘membaca’ sebagai piranti dalam usaha memperhatikan dan memahami Pancasila itu diharapkan menjadi suatu keyakinan kuat sehingga dapat dilanjutkan pada tahap ‘menulis’ Pancasila.

Kenapa Pancasila perlu dituliskan? Hal ini untuk menemukan tantangannya pada urgensitas Pancasila yang perlu dipahami (dibatinkan) dan kemudian dilahirkan (implementasi, realisasi, dan aktualisasi).

Jadi, tantangan bangsa Indonesia untuk ‘menulis’ Pancasila merupakan tantangan maha besar untuk mewujudkan Pancasila ke dalam kehidupan bermasyarakat. Pertanyaannya, seberapa jauh kehidupan bangsa Indonesia mampu mewujudkan nilai-nilai Pancasila? Apakah dalam kehidupan politik, ekonomi, kebudayaan kita juga telah ber-Pancasila?

Dan, sesungguhnya Pancasila masih berada dalam tataran wacana yang terombang-ambing nasibnya oleh hiruk-pikuk problematika bangsa. Pancasila harus menahan diri untuk merelakan nilai-nilainya dijadikan jargon-jargon politis semata. Pancasila masih berada di dalam goa gelap berkebangsaan. Harus diakui pula, setelah rumusan Pancasila ala Bung Karno dikukuhkan sebagai dasar bernegara oleh BPUPKI pada 1945, hari ini, generasi penerus bangsa sebagai pewaris tunggalnya belum mampu ‘menulis’ Pancasila dalam bentuk ‘huruf-huruf’ kehidupan.

Lalu, bagaimana mungkin Pancasila dapat ‘dibaca’ jika ‘huruf-huruf’-nya pun belum menjadi ‘tulisan’? Inilah ironi sebuah bangsa. Negara yang bersepakat untuk menggunakan Pancasila sebagai falsafah bangsanya. Memang, Pancasila masih menjadi kesepakatan historis belaka. Hal tersebut menjadi jelas dengan melihat fenomena krisis kebangsaan seperti korupsi para elite penguasa, pertikaian antar-golongan, terorisme, kemiskinan. Kenyataan itu dirasa menjauhkan diri dari nilai-nilai Pancasila (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, keadilan) sebagai panduan bangsa.

Mengganti Pancasila?

Setelah menginsyafi bahwa nasib Pancasila masih berada dalam ranah kesepakatan belaka, dan nilai-nilainya belum dilahirkan ke dalam kehidupan; maka wajar jika timbul pertanyaan apakah Pancasila tidak kontekstual sehingga tidak mampu mengikuti perkembangan zaman yang semakin kompleks? Apakah Pancasila mesti diganti dengan ideologi yang lebih sempurna?

Mengganti ideologi Pancasila tentu adalah gagasan naif. Pengertian mengganti tentu didasari oleh fakta bahwa yang diganti itu sudah tidak layak lagi dipertahankan. Karena, selama digunakan tidak mampu menjalankan fungsinya, maka sesuatu itu gagal pada aspek fungsinya. Kenaifan untuk mengganti Pancasila dapat diperjelas dengan perjalanan Pancasila sebagai ideologi negara yang masih berada dalam tataran kesepakatan.

Secara fungsional-implementatif, Pancasila belum pernah terjadi di kehidupan bangsa Indonesia. Pada masa Orde Lama, pemerintahannya cenderung berfokus pada usaha menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri bangsa. Pancasila sebagai konsep, oleh Bung Karno masih dijadikan puisi indah. Kemudian, pada masa kekuasaan Orde Baru malah mengebiri Pancasila sehingga menjadi sempit pamahamannya. Pancasila hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan. Pengalaman panjang kehidupan Pancasila itu, – kini di masa Reformasi yang gegap gempita oleh demokrasi -, malah semakin tragis nasibnya. 

Anak-anak sekolah sudah mulai tidak tahu sila-sila Pancasila. Banyak kalangan yang salah mengerti atas substansi Pancasila, sehingga beberapa kelompok mewacanakan menuju ideologi agama.

Nasib Pancasila pastinya berada kepada generasi muda sebagai pewarisnya. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali melalui pendidikan untuk memahamkan Pancasila. Pendidikan tentu saja tidak bermakna sempit pada pendidikan formal belaka, namun harus berarti seluas-luasnya. Pendidikan moral, akhlak, dan kepribadian jelas memiliki peran utama. Moralitas para pemimpin bangsa sebagai panutan warga adalah wujudnya. Akhirnya, menuju cita-cita Pancasila secara lahir dan batin dimungkinkan adanya.

Opini ini ditulis oleh Sumasno Hadi dan diterbitkan di Suara Karya pada tanggal 1 Agustus 2012. Penulis adalah alumnus Master Filsafat UGM dan Dosen Pendidikan Sendratasik FKIP Unlam Banjarmasin.