Opini

WAYANG

Kebetulan bapak saya penggemar wayang dan kami tinggal di Tegal, kota kecil di Jawa Tengah. Karenanya sejak kecil saya sudah diperkenalkan pada wayang—baik wayang kulit maupun wayang wong (orang). Setiap tahun beliau mengorganisasi pasar malam di alun-alun kota dan selalu ada wayang orang di sana. Maka setiap malam Minggu selama ada pasar malam (waktu itu belum ada pasar raya), saya dan adik-adik menonton wayang orang gratis. Apalagi wayang kulit. Selama saya di Tegal, sejak TK sampai SMA kelas 2, rasanya sering sekali ada pergelaran wayang kulit.

Di pendopo kabupaten, di rumah-rumah orang pengantinan, sunatan, ruwatan (doa mohon keselamatan) dan aneka upacara tradisi lain banyak sekali yang nanggap wayang. Jadi sejak saya kecil saya hafal banget strategi menonton wayang kulit: kapan saya bisa tidur dan kapan harus bangun untuk mendengarkan lawakan empat sekeluarga: Semar,Gareng, Petruk dan Bagong, dan menonton perang kembang, buta Cakil melawan Arjuna. Bahkan gending-gending Jawa dan tembang macapat (menyanyi solo tanpa gamelan) saya pun terbiasa, karena bapak saya (yang dokter, tetapi asli kampung Banyumasan) sering sekali menyetel radio (waktu itu belum ada televisi, apalagi acara OVJ) gending Jawa atau macapat, sambil rengeng-rengeng (bernyanyi dengan suara pelan) mengikuti tembang yang sedang disiarkan, sambil berbaring tengkurap, dipijat kakinya oleh pembantu yang setia. Waah… jan gayeng tenan (nyaman betul).

Begitu saya masuk SMP,apalagi SMA, film-film musik rock Elvis Presley dan Bill Haley mulai masuk Tegal. Kemudian piringan hitamnya. Ditambah lagi ketika saya ikut orang tua pindah ke Bogor. Mulailah zamannya the Beatles. Hobi saya main musik di Orkes Melayu (bocah) Bulan Buana, semasa di SMPN 1 Tegal, berubah jadi band Elvis-elvisan di Bogor. Kebiasaan saya dengan wayang dan gamelan sedikit demi sedikit tergusur oleh musik Barat dan selama mahasiswa saya akrab dengan gitar (untuk menarik hati mahasiswi baru), setelah jadi profesor belajar main saksofon, dan bergabung dengan The Professor Band, genrenya lagu Barat, pop dan jazz. Walaupun begitu naluri budaya Jawa saya tidak tersingkir begitu saja. Maka di sela-sela waktu saya, saya sempatkan menonton wayang.

Bahkan saya didaulat jadi Ketua KWUI (Keluarga Wayang UI), dan bersama beberapa pakar wayang dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, kami beberapa kali menggelar wayang orang dan kulit di Kampus UI, bahkan pernah menggelar wayang kulit di Berlin, dengan dalang dan tim pesinden (penembang) serta penabuh gamelan semuanya dari Jakarta (mahasiswa UI) dan Solo (profesional). Misi KWUI adalah melestarikan budaya Jawa, khususnya wayang, yang makin lama makin memudar di kalangan generasi muda.

Sebagai penggemar wayang yang juga aktivis pelestarian seni wayang,saya jadi kenal dengan pendekar-pendekar pelestari seni wayang. Di UI ada Mbak Woro dan Dr. Margaretta, aktivis KWUI. Di luar sana ada tokoh-tokoh seperti Pak Solichin (Senawangi), Bu Nani Sudarsono (Pewangi dan SBN), Bapak Luluk Sumiarso (mantan Dirjen Energi) dan ibu, Pak Undung (penulis Ensklopedia Wayang), Pak Sobari (wartawan senior), Pak Jaya Suprana dan Bu Ayla (Jaya Suprana School of Performing Fine Art), Pak Begug Poernomosidi (mantan Bupati Wonogiri).

Ada juga pelaku-pelaku seperti Ki Manteb Sudarsono, Ki Anom Soroto (dalang), dan masih banyak lagi (maaf kalau saya tidak sebut semua, karena keterbatasan halaman). Mereka semua, dengan caranya sendiri-sendiri, di bidangnya masing-masing, berusaha sekuat tenaga melestarikan seni wayang. Selain itu, di Indonesia ini juga banyak organisasi dan institusi pendidikan yang menghasilkan kader-kader pelaku seni wayang. Misalnya, ISI (Institut Seni Indonesia), ISTI (Institut Seni Tari Indonesia), Pepadi (Persatuan Dalang Indonesia), sanggar-sanggar tari dan organisasi-organisasi wayang orang(di Jakarta: Bharata), yang sebagian awaknya sudah berstatus PNS dan sebagian biaya fasilitasnya ditanggung pemerintah. Kata orang yang tahu, lembaga-lembaga dan institusi-institusi seperti inilah yang menyebabkan musik klasik di Barat bertahan terus sejak abad XVII sampai hari ini.

Ketika saya bermukim di Belanda, menjadi Profesor tamu di Universitas Nijmegen, saya dan istri pernah diajak oleh seorang sejawat dosen dan istrinya untuk menonton konser. Di malam yang dingin sekali, karena menjelang musim dingin, pertunjukan itu berpenonton penuh. Semuanya berbusana formal (pria berjas-dasi). Padahal musiknya jauh sekali dari irama dangdut. Tetapi tidak begitu halnya dengan wayang.

Ketika saya punya anak, anak-anak saya yang sejak lahir di Jakarta tidak ada kesempatan untuk saya ajak menonton wayang, seperti dulu ayah saya mengajak saya. Saya sendiri sedang sibuk-sibuknya bekerja keras menapaki jenjang karier supaya kelak bisa naik daun (kecuali daun muda). Istri saya pun begitu (namanya hidup di Jakarta, suami-istri harus bekerja). Maka anak-anak saya boro-boro gemar wayang, bahasa Jawa pun mereka tidak bisa (di rumah dan di sekolah bahasa Indonesia terus).

Tidak aneh kalau cucu saya juga lebih senang Transformer dan Spiderman, dan ketika mamanya (menantu saya, keturunan Jawa asal Surabaya) menari gambyong (serimpi) di suatu pertunjukan yang digelar oleh Jaya Suprana, dia memilih keluar gedung dan main di luar, karena takut gelap. Jadi, berbeda dengan musik klasik Barat, seni klasik wayang kehilangan generasi penggemarnya. Kalau mengikuti pengalaman saya, sudah dua generasi (generasi anak dan cucu) yang sudah tidak gemar wayang lagi.

Walaupun begitu, setiap pergelaran wayang yang kami, KWUI, selenggarakan atau saya kunjungi, selalu ramai penonton. Apalagi kalau gratis. Mereka bukan orang-orang seumuran saya, melainkan seumuran anak-anak saya dan banyak yang membawa anak-anak mereka. Jadi rupanya masih ada publik penggemar wayang. Mungkin di daerah Jawa Tengah (atau Jawa Barat untuk wayang golek Sunda, atau daerah lain untuk wayang-wayang lain) lebih banyak lagi penggemarnya.

Dari sudut ini, saya sebagai orang yang ingin agar wayang tetap lestari sebagai national heritage bangsa Indonesia yang sudah diakui UNESCO, boleh optimistis. Namun kecemasan muncul lagi ketika menyadari bahwa saya tidak kehilangan “jiwa” wayang saya, walaupun sudah tergusur oleh musik Barat. Jadi ancaman bukan datang dari budaya Barat seperti yang dicemaskan oleh masyarakat selama ini.

Ancaman datang dari penjuru lain, yaitu budaya instan yang sudah merajai generasi sekarang. Pergelaran wayang yang begitu njelimet dan mahal, terlalu mahal untuk acara sunatan atau perkawinan, cukup diganti dengan acara organ tunggal dan penyanyi goyang-goyang yang menor-menor, yang murah dan meriah. Untuk mengimbangi budaya instan ini pergelaran wayang kulit yang berdurasi semalam suntuk sudah dicoba untuk bermutasi. Termasuk dipersingkat menjadi 1-2 jam saja dan bahasa Jawa sudah diganti, atau minimal diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Tetapi anak muda sekarang ingin yang lebih instan lagi. Ketika saya memberi ceramah tentang wayang di depan perkumpulan sosial remaja tertentu, mereka sangat tertarik, terpukau dan terpaku di kursi masing-masing selama 2 jam ceramah.

Tetapi sesudah itu, mereka tidak mencari di mana bisa menonton wayang, melainkan mencarinya di internet saja. Mungkin ada baiknya, untuk melestarikan wayang ini, pemerintah memberi dukungan yang lebih konkret, seperti zamannya Pak Harto dulu. Misalnya pemerintah pusat mewajibkan semua kabupaten/kota di Jawa Tengah dan Timur (dan provinsi-provinsi lain yang ada wayangnya) untuk sesering mungkin menanggap wayang di berbagai acara yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah setempat. Masyarakat jadi punya hiburan, sekaligus ajang bersosialisasi, sehingga insya Allah kelompok penggemar wayang akan meningkat lagi jumlahnya.

Opini ini ditulis oleh Sarlito Wirawan Sarwono (Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia) dan dimuat di SINDO pada tanggal 9 September 2012.