Opini

VARIAN DAN POLARISASI NASIONALIS

Salah satu sebab mengapa kalangan nasionalis atau “abangan” tidak tanggap dan solid menghadapi ekspansi pengaruh kaum “putihan” adalah kenyataan bahwa barisan nasionalis itu sendiri terbelah dalam beberapa orientasi ideologis yang ada kalanya terlibat pertentangan cukup serius.

Dalam hal ini, hampir sejak masa pasca kemerdekaan-tetapi makin jelas pada 1960-an dan Orde Baru-golongan nasionalis bisa dikategorikan ke tiga kelompok utama: nasionalisme sayap kiri, nasionalisme priayi Jawa (Kejawen), dan nasionalisme militeristis yang muncul bersamaan dengan negara Orde Baru.

Asal mula gagasan nasionalis di Indonesia bisa dikategorikan dalam dua sumber utama. Pertama, gagasan nasionalisme yang primordialis dan etnosentris, masing-masing diwakili gerakan nasionalisme kultural Melayu (Sumatera) dan nasionalisme kultural Jawa. Kedua, aliran nasionalisme sipil-kewarganegaraan yang awalnya diinisiasi kaum peranakan Eropa (Indo), tetapi diambil alih arus utama nasionalisme Indonesia setelah pertengahan 1920-an.

Meski keduanya berbasiskan etnisitas, nasionalisme Jawa dan nasionalisme Melayu berbeda radikal, termasuk dalam hubungannya dengan Islam. Kaum nasionalis Jawa mengidealkan peradaban Jawa pada masa klasik pra-Islam dan memandang periode sejarah setelah masuknya pengaruh Islam ataupun Barat sebagai masa kemunduran. Mereka digerakkan antipati yang cukup kuat pada Islamisme dan memandang peradaban Barat secara ambivalen, berlawanan dengan etos ketimuran, tetapi sekaligus sebagai inspirasi untuk emansipasi.

Basis pendukung utama nasionalisme ini adalah kaum elite tradisional (priayi) dan masyarakat yang hampir sepenuhnya bertumpu pada sektor agraris-subsisten. Kaum nasionalis berbasis kebudayaan Melayu, yang bersifat maritim dan kosmopolitan, merupakan kelompok yang lebih terbuka pada pengaruh Islam ataupun Barat serta memiliki basis dukungannya pada kelas menengah baru yang dimunculkan politik etis negara kolonial. Mereka melihat Islam sebagai satu faktor pemersatu kaum pribumi yang tak boleh diabaikan sekaligus siap menyerap modernitas Barat sebagai jalan menuju pembebasan.

Jika kaum nasionalis “Jawa” mengembangkan bentuk kepemimpinan politis yang dalam klasifikasi Weberian termasuk kategori tradisionalis dan karismatik, kaum nasionalis “Melayu” lebih cenderung pada model legal-rasional dan teknokratik.

Bertransformasi

Kedua aliran nasionalis itu bertransformasi ketika bertemu dengan gagasan nasionalisme model Indisch yang didukung kaum Indo-Eropa ataupun kaum bumiputra yang menempuh pendidikan di Nederland.

Kaum nasionalis Melayu unggul dalam menahbiskan Islam sebagai elemen pemersatu dan menjadikan bahasa lingua-franca Melayu sebagai bahasa resmi Indonesia.

Selama masa transisi menuju kemerdekaan (1942-1950), perbedaan di antara kedua varian lokal nasionalisme itu sedikit banyak melebur. Adalah kaum nasionalis berlatar Sumatera (Melayu-Minangkabau) yang berperan sebagai penengah antara golongan Islamis dan aspirasinya untuk negara yang mengakui syariat Islam dengan golongan nasionalis Jawa dan Kristen Indonesia timur yang menolak sama sekali ideologi Islam dalam politik kenegaraan.

Akan tetapi, polarisasi kembali mengemuka setelah krisis pada akhir 1950-an, ketika terjadi disintegrasi kepemimpinan nasional antara Soekarno sebagai representasi dunia Jawa-Bali dan Hatta sebagai representasi dunia Melayu nir-Jawa. Pada saat itu muncul kelompok baru sebagai pendukung wacana nasionalis di Indonesia. Pertama, golongan militer dengan idenya menciptakan negara korporatis dan terbebas dari politik “sektarian”.

Kedua, golongan komunis yang sementara itu telah mengadaptasi doktrin kelas Marxis- nya dengan retorika nasionalisme Soekarno untuk menuntaskan dekolonisasi dan “revolusi” yang belum selesai. Kedua kelompok itu menjadi pilar penopang sistem Demokrasi Terpimpin Soekarno.

Dengan demikian, pasca krisis politik 1965-1966 hingga sekarang bisa dikatakan terdapat tiga varian utama nasionalisme. Nasionalisme kekirian bisa dikatakan kelompok yang paling parah mengalami ditindas Orde Baru Soeharto. Pandangan paling mendasar aliran “nasionalisme kiri” adalah bahwa perjuangan anti-kolonial ekuivalen dengan perjuangan anti eksploitasi, baik yang feodalis maupun kapitalis, dan bahwa proses itu akan terus berlanjut selama dominasi Barat masih berpengaruh.

Dosa sejarah Orde Baru

Bagi mereka, Orde Baru tidak saja menanggung dosa sejarah atas pembantaian massal golongan kiri, tetapi juga telah mengkhianati visi politik nasionalis dengan membuka Indonesia bagi kapitalisme Barat. Sebaliknya, bagi mereka, Soekarno itu figur ideolog dan pendiri bangsa yang tanpa cela sehingga jika terdapat “noda” dari periode Soekarno, itu adalah kesalahan lawannya, baik kaum militer maupun sipil seperti PSI dan Masyumi.

Kelompok kedua, kaum nasionalis Jawa (yang sedikit banyak terwakili sayap kanan PNI) agak sedikit berbeda nasibnya. Meski mendukung Soekarno sebagai bapak bangsa, mereka tak melihat Orde Baru Soeharto secara esensial berlawanan dengan visi politik Soekarno. Dalam beberapa hal bahkan dapat dikatakan, Orde Baru merupakan penerus Demokrasi Terpimpin Soekarno, suatu pandangan yang dalam banyak hal memang benar adanya karena periode inilah yang memungkinkan kaum militer memiliki peran politik lebih dari masa sebelumnya.

Soeharto mendukung dan memperkuat ideologi Pancasila yang merupakan temuan Soekarno meski memperlakukannya sebagai ideologi tertutup dan penafsirannya negara-sentris.

Kelompok terakhir, yaitu kaum militer dan ideologinya, bagi saya cukup layak diletakkan dalam spektrum politik nasionalis meski ini akan ditolak oleh sebagian besar kalangan kiri.

Demikian pula keberadaan kaum teknokrat berorientasi Barat, yang merupakan kelanjutan dari tradisi sosdem dan Islam modernis kalangan nasionalis berorientasi “Melayu”, sebagaimana disebutkan di atas, selama periode Orde Baru awal memiliki peran yang penting.

Meskipun militer Indonesia sedikit banyak merupakan bentukan Jepang masa fasisme dan terdapat indoktrinasi yang bersifat totaliter, terdapat perbedaan kontras dengan sistem fasis di Barat pada umumnya, khususnya dalam hal kecenderungan Orba Soeharto untuk melakukan depolitisasi dan penciptaan “massa mengambang”, sementara sistem fasis pada umumnya cenderung pada mobilisasi sosial warganya.

Negara Orde Baru merupakan rezim birokratik-militer yang dengan sadar menyatukan diri dalam sistem ekonomi-politik developmentalis yang berorientasi Barat meski secara normatif-ideologis Orba berpegang pada kenetralan Dunia Ketiga (baca: nonblok) sebagaimana diwarisi dari rezim pendahulunya.

Meski sistem politiknya telah runtuh pada krisis ekonomi-politik tahun 1997-1998, ideologi warisan Orde Baru yang saya sebut sebagai “nasionalisme militeris” kenyataannya masih memiliki pengaruh besar. Pemerintahan Joko Widodo yang telah menciptakan polarisasi antara haluan nasionalis-sayap kiri dan nasionalis Jawa di satu sisi dengan kaum Islamis (Islam politik) di sisi lain bukan tidak mungkin merupakan bagian dari permainan politik mereka.

Ketika krisis politik yang kemudian direspons dengan adanya wacana pembubaran ormas “radikal” dan intoleran, boleh jadi hal tersebut merupakan awal dari upaya menciptakan Demokrasi Terpimpin jilid kedua yang akan mengantarkan kaum militeris bagian sentral, siapa pun yang akan keluar sebagai pemenangnya kelak.

Opini ini ditulis oleh Pradipto Niwandhono (Pengajar pada Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, Surabaya) dan dimuat di Kompas 3 April 2017.