Opini

BIN DAN INTELIJEN YANG TERBUKA

Kantor Badan Intelijen Negara yang biasanya senyap mendadak heboh Sabtu malam lalu (19/10). Gara-garanya, kabar ”penjemputan” terhadap Prof Subur Budhisantoso, guru besar antropologi UI sekaligus mantan ketua umum Partai Demokrat. Kabar yang memantik reaksi itu diembuskan kubu loyalis Anas Urbaningrum. 

Karena itu, muncul kesan seolah-olah BIN telah menjadi perpanjangan tangan Presiden SBY (bos Partai Demokrat) yang sedang berseberangan dengan kubu Anas Urbaningrum. Bisa muncul opini bahwa BIN telah menjadi alat kepentingan politik satu golongan. 

Dalam catatan penulis, baru Kepala BIN Marciano Norman, mantan komandan Paspampres, yang mengu­ndang wartawan untuk jumpa pers ke dalam kantor BIN. Pada hari biasa, kandang rusa (sandi untuk penyembutan kator BIN karena banyak rusa yang berkeliaran di halaman) sangat tertutup. Jangankan masuk, berhenti sejenak di depan gerbang pasti diusir oleh petugas keamanan BIN bertopi cowboy yang disebut tim Garda. 

BIN, rupanya, gundah karena isu yang awalnya berembus di social media (Twitter) berkembang secara liar. Gara-gara isu itu, masyarakat sontak seperti diingatkan kepada pola operasi intelijen di era Orba: menculik, menjemput paksa, atau menginterogasi. Kasus Komando Jihad atau kasus penghilangan aktivis 1998 merupakan contoh praktik intelijen yang menyimpang. 

Dalam sistem negara yang demokratis, seluruh lembaga intelijen dan personelnya harus netral dan bukan merupakan instrumen parpol. Pengaturan itu wajib agar intelijen tidak menjadi tuan dalam diri sendiri (self tasking intelligence) dan supaya intelijen tidak melayani kekuatan politik tertentu (politically motivated intelligence). 

Negara demokratis mengatur intelijen dengan menggunakan perangkat undang-undang yang tegas. Di Inggris, misalnya, ada Intelligence Service Act yang dalam pasal 2 menyatakan bahwa ”the intelligence service does not take any action to further the interest of any United Kingdom political party.” 

Contoh lain ditunjukkan undang-undang intelijen Afrika Selatan (setelah era apartheid) dalam Intelligence Service Act (1994) dan Australia (Intelligence Organisation Act 1979). Di Bosnia Hergezovina bahkan diatur hak seorang anggota intel untuk memastikan keabsahan perintah atasannya, bahkan minta penjelasan tertulis.

Kembali ke BIN, sejak awal menjabat, Marciano Norman memang dikenal terbuka dan getol menyosialisasikan UU 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara. Selain ada pasal soal netralitas, di pasal 34 undang-undang itu jelas diatur larangan menangkap atau menahan seseorang. 

Marciano, tampaknya, ingin mengubah citra BIN dari lembaga yang angker, seram, dan tertutup menjadi lebih friendly. Saat awal-awal menjabat Marciano gampang diwawancara dan diprofilkan berbagai media. Bandingkan dengan era Hendropriyono atau era Syamsir Siregar yang lebih ”alergi” dengan wartawan. 

BIN juga membentuk deputi baru, deputi enam, yang bertugas sebagai deputi informasi. Semacam divisi hubungan masyarakat. Itu unik karena lagi-lagi bertentangan dengan sifat intelijen yang tertutup. 

Website bin.go.id juga diperbaiki dan update setiap hari. Rupanya, BIN ingin seperti CIA yang website-nya punya aplikasi games CIA for kids. CIA juga menjadi inspirasi ratusan film tentang spionase dan mata-mata. 

Diskusi tentang intelligence oversight atau pengawasan intelijen oleh publik hingga kini belum tuntas di kalangan ilmuwan intelijen. Seni bermain terbuka tapi tertutup dan, sebaliknya, rahasia tapi transparan membuat dunia intelijen dijuluki sebagai game of shadow (permainan bayangan). 

Intelijen sebagai ilmu dan metode operasi boleh dipraktikkan siapa saja. Calon kandidat presiden, jika ingin menang, wajib memiliki tim ahli intelijen. Tugas utamanya ialah menyusun foresight, ramalan berbasis analisis data yang akurat untuk memenangi kompetisi dan membuat kandidat lain gigit jari. 

Dalam bisnis pun demikian. Para ahli business intelligence yang biasanya disamarkan dengan kata strategic and analysis division laris manis diboyong perusahaan-perusahan multinasional. Mereka digaji ribuan dolar untuk mencari data kompetitor, menyusun analisis, dan mendahului seribu langkah ke depan. 

Namun, begitu seorang intel berbaiat setia kepada negara, dia terikat dengan sumpah jabatan dan netralitas kepentingan. Di pasal 19 UU 17 Tahun 2011 sumpah itu, antara lain, berbunyi ”bahwa saya akan menjalankan tugas dengan saksama, objektif, berani, dan profesional.” 

Personel intel negara harus melebur kepada doktrin baku intelijen yang berlaku global. Yakni, berhasil tidak dipuji, gagal dicaci maki, hilang tidak dicari, dan mati tidak diakui.

opini ini ditulis oleh Ridlwan (Wartawan Jawa Pos, Menempuh S-2 Kajian Stratejik Intelijen di UI) dan diterbitkan Jawa Pos pada 21 Oktober 2013.