Opini

BATIK ITU BAIK

Batik kini tidak hanya identik dengan kondangan. Batik kini bisa dipakai ketika berolah raga. Baik sebagai celana, kaos, ataupun asesori. Ini perjalanan panjang sejak abad 17 ketika Keraton Solo dan Yogya yang terbelah, menjadikan batik sebagai pakaian resmi. Dalam gambar resmi para raja tampil mengenakan kain batik, walau mulai mengenakan celana panjang yang diperlihatkan sedikit, di balik kain.

Waktu awal warna batik biru putih yang disebut kelengan. Kemudian sekali, masuk warna coklat, dari warna kulit pohon soga. Bahkan kemudian soga menjadi identik warna coklat. Proses ini rumit, panjang, karena dalam mewarnai bisa beberapa kali, belasan kali. Padahal ini baru soal mewarnai dan kemudian dicuci justru melunturkan warna.

Dari segi proses kreatif dan produksi, batik menuntut alur yang tidak biasa. Juga dari segi permodalan. Pasar Klewer di Solo yang dulu dikenal sebagai pasar tekstil terbesar di Asia Tenggara, dikenal karena produk batiknya. Juga para juragan yang dikenal dengan sebutan Mbokmase, sebutan untuk kaum perempuan yang bertindak selaku produser, distributor, perangcang, dan sekaligus “model iklan.” Pada posisi ini kehadiran menunjukkan kekhasan dan sekaligus keistimewaan yang tak sama dengan industri lain.

Bahkan letak dan gaya bangunan pabrik batik—dengan pintu sempit bagian belakang tempat transaksi dan tak mengunakan pintu depan— menyimpan riwayat cara pandang berdagang. Boleh dikatakan industri batik ini membuat tatatan sosial yang ideal antara majikan dengan buruh.

Para buruh umumnya berdiam di pabrik, mendiami secara mager sari, tanpa sewa. Hubungan saling percaya ini yang sekarang susah ditemukan bentuknya ketika buruh memilih jalan demontrasi misalnya. Saya pernah menuliskan riwayat batik dan buruh dan Mbokmase dalam novel berjudul Canting pernah menjadi sinetron seri. Terakhir tahun lalu Canting dipentaskan secara musikal oleh mahasiswa Indonesia yang kuliah di Singapura. Dan memang dalam proses membatik, proses produksi banyak intrik, banyak kisah asmara, baik yang terbuka atau tertutup.

Banyak misteri, seperti juga ketika menatap kain batik. Banyak tafsiran ini corak apa, kenapa begitu banyak cerek, titik, dalam lukisan, dan kenapa motif tertentu cocok untuk keluarga pengantin, dan motif lain cocok untuk melayat. Dalam selembar kain batik ada yang harganya mencapai puluhan, atau bahkan ratusan juta rupiah, dan sebaliknya ada baju yang bagus harga di bawah seratus ribu rupiah.

Maka adanya Hari Batik Nasional yang dirayakan setiap 2 Oktober itu baik adanya. Karena dalam selembar kain batik terdapat proses budaya yang luas. Dulu pun saya termasuk yang memrotes kenapa mata uang kertas terkecil bergambar perempuan pembatik. Apakah para buruh batik harus identik dengan kemiskinan? Mungkin saja masih selalu problem di negeri ini. Ada kontradiksi dalam kenyataan.

Kalau sekarang kita mengelukan, membuat hari batik, apakah ini menyejahterakan para buruh pabrik? Ataukah justru memberi jalan batik buatan Tiongkok yang diproduksi secara massal? Novel saja mempermasalahkan masuknya batik printing, batik yang dicetak, bukan yang dengan canting atau dicap. Karena ketika proses produksi dengan mesin, seniman batik tulis tak diperlukan. Dan mata rantai yang menyertai, seperti kehidupan keluarga.

Sekarang ini pun pabrik batik yang dulunya jaya, bangunan megah, halaman luas, sudah banyak berubah fungsi. Kadang saya berharap banget, batik yang diwariskan nenek moyang ini bukan sekadar warisan adi luhung, haute cuture, belaka. Melainkan juga mempunyai, atau terkait dengan nilai-nilai ekonomis. Dan karena itu semua, batik itu baik.

Opini ini ditulis oleh Budayawan Arswendo Atmowiloto yang dimuat di Koran Jakarta pada 3 Oktober 2015.