PAHLAWAN BERNADA
Agenda upacara atau berziarah dengan tabur bunga di taman makam pahlawan sering memperdengarkan alunan lagu sendu, lagu bagi para pahlawan. Lagu itu berjudul Mengheningkan Cipta gubahan Prawit. Kita simak lirik lagu merujuk ke buku Indonesia Djaja (1951), berisi lagu-lagu gubahan Prawit. “Dengan seluruh, angkasa raja memudja pahlawan negara, nan gugur remadja di ribaan bendera, bela nusa bangsa, kau kukenang wahai bunga putra bangsa, harga djasa, kau tjahja pelita bagi Indonesia merdeka.” Lagu bisa mengantar memori para pendamba kemerdekaan, penggerak Indonesia. Mereka berjulukan pahlawan, tokoh berkorban harta, tubuh, jiwa. Pahlawan “tercipta” berkonteks negara-bangsa.
Penghormatan atas pahlawan tak cuma dengan cara memasang gambar-gambar mereka di dinding kelas. Tak melulu ingatan dengan pidato kenegaraan atau upacara. Narasi tentang pahlawan tak selalu berwujud buku-buku berstempel “milik negara” yang diedarkan di perpustakaan sekolah dan daerah sebagai bacaan indoktrinasi. Pahlawan tak selesai dimaknai dengan lencana dan nisan. Di Indonesia, memori dan pemaknaan pahlawan juga disemaikan dengan nada dan kata. Lagu-lagu digubah dan diperdengarkan ke publik sebagai rujukan mengenang tokoh dan peristiwa-peristiwa bersejarah.
Lagu bisa berfungsi untuk propaganda dan renungan. Di masa kolonialisme dan Orde Lama, para komponis menggubah lagu dengan pelbagai misi, mengobarkan nasionalisme, dan mengukuhkan keindonesiaan. Sukarno pun mafhum bahwa lagu menentukan proses berindonesia, bermula dari alunan musik dan renungan lirik. Kita mengingat gairah Sukarno untuk gerakan mengumandangkan lagu Indonesia Raya gubahan W.R. Supratman agar sejarah tak sirna, dan kehendak menjadi Indonesia terus bergerak. Episode pembentukan dan pemaknaan Indonesia segera dikuatkan dengan lantunan lagu-lagu nasionalis dan heroik. Lagu-lagu untuk mengenang pahlawan diperdengarkan di sekolah, kantor, lapangan, rumah.
Prawit, komponis asal Solo, memenuhi kehendak Sukarno dengan menggubah lagu-lagu bertema pahlawan. Lagu-lagu gubahan Prawit: Mars Diponegoro, Hari Pahlawan, Mengheningkan Cipta, Pahlawan. Kita tentu ingat lagu Mengheningkan Cipta. Lagu ini sering dilantunkan oleh publik di pelbagai hari peringatan nasional. Kita bisa bandingkan dengan lirik lagu Hari Pahlawan. Lagu ini gubahan Prawit dengan lirik dari S. Roed: “Hari Pahlawan nan bahagia, hari nan sutji dan sungguh mulia. Berbakti pahlawan nan perwira kesuma bangsa njata. Pahlawan pusaka negara, berkorban dengan ichlas dan rela. Djiwa nan djasa tak pantang lupa, ‘ntuk negara merdeka. Hari mulia hari nan djaja, hari pahlawan bangsa. Hari mulia, hari nan djaja, pahlawan Indonesia.”
Lagu berjudul Hari Pahlawan telah dipersembahkan untuk Indonesia, meski kita mulai jarang melantunkan atau mengingatnya. Peringatan Hari Pahlawan, dari tahun ke tahun, tak lagi berisi renungan dari lagu berjudul Hari Pahlawan. Pemerintah dan publik cenderung memilih lagu berjudul Mengheningkan Cipta. Memilih dan mengabadikan lagu seolah menjadi keputusan politis dan historis. Kita berharap lagu berjudul Hari Pahlawan tak dilupakan oleh publik. Lagu itu ada, meski tak dilantunkan dalam upacara atau tabur bunga di taman pemakaman pahlawan. Kita tak ingin menjadi pelupa akan lagu-lagu bersejarah, lagu persembahan bagi pahlawan.
Ada lagi lagu Prawit berjudul Pahlawan, dengan lirik oleh Karip. Lagu ini juga jarang diperdengarkan, rawan terlupakan di halaman-halaman sejarah lagu di Indonesia. Pesan dalam lagu: “… Tak kenal menjerah pada lawan itulah sifatnja pahlawan. Sanggup berkorban djiwa dan raga ‘ntuk kebahagiaan bersama… Terkenang selalu hormatku padamu.” Dikhawatirkan, lagu-lagu garapan para komponis ampuh di Indonesia lekas tenggelam di arus zaman. Peringatan Hari Pahlawan terus dilaksanakan setiap tahun, tapi tak selalu menghadirkan lagu-lagu bersejarah bertema pahlawan dari para komponis selaku “pahlawan bernada-berirama”.
Kita masih memiliki ingatan lagu bertema pahlawan dari komponis kondang bernama Ismail Marzuki. Lagu berjudul Gugur Bunga dipersembahkan oleh Ismail Marzuki sebagai lagu berair mata dan impresif, dilantunkan dalam peristiwa-peristiwa penting berkaitan dengan nasionalisme dan peringatan Hari Pahlawan. Simaklah lirik mengandung permenungan: “Betapa hatiku takkan pilu, telah gugur pahlawanku. Betapa hatiku takkan sedih, hamba ditinggal sendiri. Siapakah kini pelipur lara, nan setia dan perwira? Siapakah kini pahlawan hati, pembela bangsa sejati? Telah gugur pahlawanku, tunai sudah janji bakti. Gugur satu tumbuh seribu, tanah air jaya sakti. Gugur bungaku di taman hati, di haribaan pertiwi. Harum semerbak menambahkan sari, tanah air jaya sakti.” Lagu ini mengharukan, menjelaskan penghormatan kita bagi para pahlawan bangsa. Kita mengenang dengan nada dan kata.
Kita adalah bangsa berlagu, memerlukan siasat mengolah warisan lagu dari para komponis. Lagu-lagu adalah representasi seni mengandung pesan-pesan sejarah, politik, ketokohan, edukasi. Kita belum memiliki “kitab babon” berisi ribuan lagu dari para komponis selaku “pahlawan bernada”. Kita pantas untuk segera mendokumentasikan dan mengenalkan lagu-lagu mereka ke publik, dari sekolah sampai gedung parlemen. Ajakan ini berdalih bahwa Indonesia turut diimajinasikan dan dibentuk oleh lagu-lagu, dari masa ke masa.
Opini ini ditulis oleh Bandung Mawardi (Pengelola Jagat Abjad Solo) dan dimuat di TEMPO.CO pada tanggal 9 November 2013.