Opini

NEGERI PARA PAHLAWAN

Hiruk pikuk memeringati pahlawan di negeri ini banyak difokuskan pada tanggal 10 November. Seremoni pengingatnya mewujud dalam tabur bunga, upacara bendera, karnaval, dan kadang-kadang teatrikal. Di beberapa tayangan televisi bahkan dengan acara dangdut. Pahlawan, dalam kamus Bahasa Indonesia, diartikan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanan dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Perlu dipertanyakan ulang, kebenaran itu menurut versi siapa. Ada yang mengatakan bahwa sejarah itu milik para pemenang. Maka para pemenang itulah yang merasa layak menyematkan seorang tokoh menjadi pahlawan, atau sebaliknya.

Dalam peristiwa peperangan, kedua negara yang saling berhadapan pasti memiliki pahlawannya masing-masing, meskipun mereka baku bunuh. Dalam masa damai pun tindakan yang dilakukan sebuah negara untuk menghormati pahlawannya bisa menimbulkan rasa luka pada negara mantan seterunya. Di Jepang, PM Shinzo Abe diprotes China dan Korea Selatan karena mengunjungi Kuil Yasukuni sebagai tempat untuk menghormati para tokoh militer Perang Dunia II. Ini karena China dan Korsel melabeli para petinggi militer yang dimakamkan di sana sebagai penjahat perang. Mirip dengan protes Singapura kepada Indonesia yang memberi nama “Usman” dan “Harun”  pada kapal perangnya.

Mari kita buka lagi lembar sejarah konfrontasi Indonesia dengan negara tetangga. Setelah ditempa latihan beberapa waktu lamanya, saat penugasan itu pun tiba. Sebagai pejuang, kapanpun dan di manapun harus siap sedia. Tanggal 8 Maret 1965 ketiganya berangkat menggunakan perahu, di tengah malam buta saat air laut tenang. Tujuannya jelas, Singapura. Dengan berbekal 12,5 kilogram bahan peledak, ketiga pejuang tadi: Usman, Harun, dan Gani mendapat perintah untuk melakukan aksi sabotase ke sasaran penting. Terserah di mana tempatnya ketiganya diberi keleluasaan. Observasi pun dilakukan.

Berselang hari, dalam keheningan malam menjelang subuh, di waktu sebagian besar manusia terlelap, bagian bawah Hotel Mac Donald meledak. Rupanya itulah sasaran mereka, sebuah hotel mewah, yang daya ledaknya menimbulkan kerusakan luar biasa. Hotel hancur berantakan. Pecahannya menyebar ke segenap penjuru. Tercatat 20 toko rusak berat, 24 kendaraan hancur, 30 orang meninggal, dan 35 orang mengalami luka-luka. Saat itu kalender menunjuk tanggal 10 Maret 1965.

Rencana berikutnya adalah meninggalkan Singapura menuju negara asal, Indonesia. Tugas telah ditunaikan. Namun suratan takdir menentukan lain. Tanggal 13 Maret 1965, Usman dan Harun tertangkap. Pengadilan Singapura memutuskan vonis hukuman mati. Kamis, 17 Oktober 1968, tepat pukul 6 pagi, keduanya menjalani hukuman gantung di dalam penjara Changi. Pada hari yang sama, Presiden Soeharto menganugerahi Sersan KKO Janatin alias Usman bin Haji Muhamad Ali dan Kopral KKO Tohir alias Harun bin Said sebagai Pahlawan Nasional.

Dalam peperangan, setiap negara memiliki hak untuk menentukan prajuritnya yang gugur secara heroik sebagai pahlawan. Termasuk pula Indonesia yang sempat mengalami konfrontasi dengan Malaysia yang mana Singapura masih menjadi bagiannya. Saat itu Indonesia dinahkodai Presiden Soekarno yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia sebagai boneka Inggris yang ingin melanggengkan kolonialisme dan imperialisme. Usman dan Harun, oleh pemerintah Indonesia diangkat sebagai pahlawan, sebaliknya di mata Singapura dianggap sebagai penjahat.

Jadi, sebenarnya seorang tokoh bisa menjadi pahlawan bagi sebagian kalangan, namun dapat pula menjadi penjahat bagi kalangan yang lain. Di kancah perjuangan mempertahankan kemerdekaan, kurang apa kepahlawanan Jendral Sudirman? Dalam kondisi kesehatan memburuk, bersama pasukannya bergerilya ke hutan, gunung, bukit, ke segala tempat. Namun di benak penjajah kolonial Belanda ia tak lebih sebagai penjahat yang mesti diburu dan ditangkap. Demikian juga Sutomo, I Gusti Ngurah Rai, atau Robert Wolter Monginsidi.

Y.B. Mangunwijaya dalam novel “Burung-burung Manyar” menampilkan revolusi Indonesia dari sudut pandang orang Indonesia yang memihak kolonial Belanda. Setadewa alias Teto, anak pasangan bangsawan ningrat Surakarta dengan wanita indo, telah menentukan pilihan. “Orang-orang Indonesia belum matang untuk merdeka. Aku tahu tidak pernah manusia matang untuk menangani hidupnya sendiri pun. Tetapi suatu saat kita harus memilih pihak. Dan aku memilih Belanda karena aku yakin ketika itu, bahwa tidak sebandinglah korban akibat ketidakdewasaan dengan keuntungan yang akan dicapai.”

Meneruskan jejak papinya, Letnan KNIL Barjabasuki, Teto bergabung dengan tentara Belanda selepas pendudukan Jepang. Dendam kesumatnya masih menyala akibat perlakuan semena-mena Jepang terhadap orang tuanya. Saat ini kita mungkin menganggapnya sebagai pengkhianat. Tetapi, Teto juga tidak mau dianggap sebagi pengkhianat bangsanya sendiri. “Maaf, Anda keliru alamat menamakan aku budak Belanda. Bagiku, NICA hanya sarana seperti Republik bagi mereka sarana juga. Segala omong kosong tentang kemerdekaan itu slogan belaka yang menipu. Apa dikira orang desa dan orang-orang kampung akan lebih merdeka di bawah Merah Putih Republik Indonesia daripada di bawah mahkota Belanda?”

Pada bagian lain, kedatangan Samsu dan seregu tentara gerilyawan awalnya disambut dengan baik oleh penduduk desa. Makan diberikan. Tempat tinggal disediakan. Namun lama-lama tingkahnya menjengkelkan. Berlagak paham soal militer, namun tak punya siasat menghadapi musuh. Alhasil, pernah peleton Samsu lari tunggang-langgang kedatangan patroli NICA. Begitupun yang dijadikan pelampiasan amarah adalah penduduk desa hingga menyebabkan kematian. Sehari-hari, penduduk desa semakin dicekam ketakutan. Ibu-ibu mulai mengungsikan anak gadisnya ke desa lain sesudah anak Pak Lurah diperkosa Samsu. Tak kurang akal, penduduk desa meminta Mbok Rukem, janda nakal yang biasanya mereka gerutui, untuk menampung lahar birahi tentara itu.

Dari sudut pandang lain, tampaknya Teto benar karena sebagian pejuang berlaku menjadi penjahat yang menakutkan bagi orang desa. Atau memang mereka sejatinya penjahat yang berpura-pura menjadi pahlawan. Entahlah. Bila biasanya dalam roman kepahlawanan, kita akan menemukan tokoh protagonis dalam diri pejuang republik. Namun menariknya, Romo Mangun mengajak pembaca melihat revolusi dari segala sisi, salah satunya pejuang yang antagonis. Ajaib, sekian tahun kemudian setelah penyerahan kedaulatan, Samsu yang durjana itu menjadi bupati.

Orang-orang seperti Samsu ini selalu ada dalam setiap rezim. Berpura-pura mendaku sebagai pahlawan. Namun tak ubahnya penjahat, mementingkan diri sendiri, sekaligus mengorbankan orang lain. Dan ajaibnya, mendapatkan jabatan. Negeri ini memang pantas dijuluki keajaiban dunia, tak melulu candi Borobudur atau binatang komodo. Coba renungkan pengakuan seorang Kartono Mohamad yang menolak jenazah ayahnya dimakamkan di taman makam pahlawan, meski pantas setelah ada bukti peran selama masa revolusi. ”Mungkin ini juga semacam keangkuhan bahwa kami tidak mau ayah dicampur dengan ‘pahlawan’ yang tidak jelas perjuangannya.”

Bisa jadi, pahlawan tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Tugas kita untuk meneladani, bukan sekadar mengagumi. Chairil Anwar sudah mengingatkannya, puluhan tahun silam, “Kami sudah coba apa yang kami bisa. Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa. Kami sudah beri kami punya jiwa. Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa. Kami cuma tulang-tulang berserakan. Tapi adalah kepunyaanmu. Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan.”

Opini ini ditulis oleh Wurianto Saksomo, S.H., M.P.A. (Kepala Bidang Kewaspadaan Nasional dan Penanganan Konflik pada Bakesbangpol Kabupaten Ngawi) dan dimuat di Warta LAN (Lembaga Administrasi Negara) Edisi 60.