Opini

PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DAN OPTIMALISASI PEMOLISIAN MASYARAKAT

Gagasan pembentukan Tim Terpadu Penangangan Konflik Sosial diungkapkan oleh Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian dalam acara “Sinergitas Penanganan Konflik Sosial” di Banjarmasin (1/4/2021). Dilansir oleh Kompas (2/4/2021), tim ini memiliki tugas mengidentifikasi kepentingan dan kepentingan umum yang menjadi dasar sistem penanganan konflik.

Pernyataan ini disampaikan di depan perwakilan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) berbagai daerah untuk menyikapi potensi konflik sosial di Indonesia. Kesadaran terhadap urgensi pemerintah bertindak proaktif dengan membuat suatu tim khusus patut diapresiasi.

Akan tetapi, gagasan ini perlu diperhatikan dan dikawal secara mendalam agar tidak menjadi bumerang. Inisasi pemerintah terdahulu yang tampak proaktif, tetapi berakhir sebagai alat penyalahgunaan wewenang perlu menjadi refleksi.

Salah satu cetak biru dalam konsep Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial yang pantas mendapatkan rekognisi adalah pembentukan tiga subtim yang merepresentasikan dinamika konflik sosial dengan aspirasi perdamaian. Ketiga subtim yang dimaksud adalah subtim pencegahan konflik sosial, penghentian kekerasan, dan pemulihan. Masing-masing subtim memiliki tugas yang berbeda.

Subtim pencegahan direncanakan mendominasi skema kerja penanganan konflik sosial. Fokus pemerintah terhadap aspek pencegahan konflik selaras dengan temuan riset World Bank bersama PBB di tahun 2018 bahwa negara-negara di dunia kini menekankan pada upaya pencegahan konflik. Namun, alokasi yang disalurkan belum sebesar alokasi untuk tindakan responsif krisis dan rekonstruksi.

Kondisi ini memengaruhi keberlanjutan program pencegahan konflik di samping perhatian tentang aspek inklusivitas pencegahan konflik yang masih rendah. Riset ini menegaskan bahwa keberlanjutan dan inklusivitas pencegahan konflik ditentukan oleh kemampuan mengenali dan menangani keluhan dan kedukaan masyarakat sejak dini. Beberapa catatan ini harus diperhatikan dan dipersiapkan secara matang dalam pembentukan subtim pencegahan konflik sosial.

Selain itu, pematangan kerangka berpikir subtim yang bertugas melakukan inventarisasi potensi konflik ini perlu dilakukan. Inventarisasi potensi konflik merupakan tahapan kerja yang krusial dalam penanganan konflik sosial yang bertumpu pada pencegahan.

Oleh karena itu, inventarisasi tidak boleh dilakukan secara arbitrer dan terlalu menyederhanakan permasalahan. Kategorisasi potensi konflik secara tepat harus dilakukan, salah satunya dengan mengenali interseksionalitas potensi konflik. Bak pemeriksaan kesehatan, kesalahan diagnosa akan berujung pada malpraktek.

Subtim ke-dua, yaitu subtim penghentian kekerasan, menandai kesadaran pemerintah terhadap bahaya kekerasan dalam konflik. Perlu dipahami bahwa konflik adalah keniscayaan di tengah masyarakat yang memiliki berbagai macam kepentingan yang berbeda bahkan bergesekan. Kondisi yang berbahaya adalah ketika kekerasan digunakan untuk meniadakan pihak yang berseberangan dan dianggap sebagai lawan.

Spiral kekerasan akan berlanjut karena orang akan berasumsi bahwa kekerasan merupakan satu-satunya jalan mencapai tujuan, meskipun hal ini terbantahkan oleh berbagai aksi nir-kekerasan yang sukses mencapai tujuan. Dengan kata lain, subtim ini seharusnya dapat membawa masyarakat kepada cara berkonflik yang sehat.

Namun, penempatan aktor-aktor yang banyak diketahui menggunakan kekerasan dalam subtim ini dapat berpotensi kontra-produktif. Polri, TNI, satuan polisi pamong praja, dan perlindungan masyarat dijadikan garda depan dalam subtim ini. Padahal banyak kasus konflik sosial yang menunjukkan penggunaan kekerasan, terutama oleh kepolisian dan TNI, memicu kekerasan yang lebih besar alih-alih menghentikan kekerasan.

Aktor-aktor ini harus dipastikan dapat mengimplementasikan pemolisian masyarakat secara optimal, bukan menodongkan persenjataan. Elemen masyarakt sipil pun seharusnya dilibatkan sebagai kunci dalam subtim ini.

Di samping kedua subtim di atas, subtim pemulihan memiliki posisi penting dalam penanganan konflik sosial. Pembentukan subtim ini patut diapresiasi karena penanganan tidak hanya dipahami sebagai langkah preventif dan responsif, juga melibatkan langkah transformatif.

Dengan tugas melakukan rekonsiliasi dan mediasi, subtim ini dapat menjembatani perdamaian relasional atau membentuk relasi antar-aktor agar damai melalui jalinan relasi kekerabatan atau persahabatan. Kerangka kerja rekonsiliasi dan mediasi dalam subtim ini juga harus memperhatikan skema konflik vertikal, tidak hanya horizontal.

Dalam upaya ini, subtim harus memahami peta relasi kuasa antar pihak. Selain itu, racikan pemulihan konflik harus kontekstual dan sesuai kebutuhan pihak yang berkonflik. Sebagai contoh, apabila komisi kebenaran dibutuhkan untuk rekonsiliasi, maka subtim harus memfasilitasi kebutuhan tersebut.

Pekerjaan subtim pemulihan semakin bermakna jika pemulihan juga dipahami sebagai penghilangan faktor pendorong konflik. Misalnya, konflik yang dipantik oleh ketimpangan atau favoritisme yang berakar dari permasalahan struktural harus menghapuskan legitimasi struktural yang mendasari, seperti regulasi.

Oleh karena itu, advokasi perlu dilakukan oleh subtim ini melalui koordinasi dengan lembaga negara terkait untuk menindaklanjuti regulasi yang bermasalah. Meskipun subtim dan lembaga tersebut merupakan bentukan negara, tetapi egosentris kelembagaan dapat menjadi tantangan dalam pelaksanaan misi ini.

Aspek lain yang menarik dibahas dari konsep Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial adalah konsep sinergitas. Upaya untuk bersinergi dicerminkan dari pelibatan berbagai aktor di tingkat pusat maupun daerah, baik dari pihak pemerintah maupun non-pemerintah.

Sinergitas mencerminkan penangangan konflik sebagai upaya gotong royong di level struktural maupun kultural dengan menjangkau serta menghubungkan aktor yang berkecimpung di setiap level, seperti pemerintah daerah dan tokoh masyarakat.

Kendatipun aktor di setiap level tampak representatif, terdapat potensi masalah jika pihak yang terlibat dipilih sewenang-wenang. Salah satu contoh, pemilihan tokoh masyarakat sebaiknya dilakukan secara inklusif sehingga tidak melahirkan tirani mayoritas.

Pemilihan tokoh masyarakat hanya dari kelompok mayoritas tanpa mengakomodasi representasi kelompok minoritas akan menihilkan suara minoritas. Hal ini akan menyulitkan proses penanganan konflik sosial yang idealnya memiliki akses kepada semua pihak yang berkonflik.

Selain itu, sinergitas dalam penanganan konflik sosial dapat dicapai jika terdapat wewenang terukur bagi masing-masing aktor di ketiga subtim. Ketidakjelasan wewenang dapat berujung menjadi diskresi bahkan penyalahgunaan wewenang. Hal ini rentan terjadi di sebuah tim yang dibentuk dengan justifikasi kepentingan publik, seperti penanganan konflik sosial.

Pembentukan Tim Terpadu Penanganan Konflik Sosial yang dirancang secara serius dan matang dapat menjadi harapan di tengah masifnya konflik sosial. Namun, sebuah tim yang dibentuk hanya sebagai pemanis tidak akan membawa progress, melainkan berpotensi memperkeruh kondisi yang rentan terhadap konflik sosial.

Opini ini ditulis oleh Selma Theofany (Peneliti Isu Konflik dan Perdamaian) dan dimuat di Kompas pada 19 April 2021.