MENITIPKAN NASIONALISME
DI era globalisme dan regionalisme seperti saat ini, nasionalisme menjadi sesuatu yang usang dan asing. Kantongi saja nasionalismemu. Demikian bunyi adagium yang beredar di sebagian teknokrat Republik ini.
Saat batas politik negara-bangsa sudah diretas, nasionalisme hanya pengganggu yang menyebalkan. Tidak penting melindungi kekuatan agraris bangsa sendiri. Lebih penting mencukupi kebutuhan pangan domestik melalui impor. Padahal, nasionalisme justru sedang menyala-nyala di seantero planet ini. Batas memang retas. Namun, kepentingan nasional sebuah negara-bangsa tetap menjadi pertaruhan utama dalam setiap relasi diplomatik. Setiap pertemuan global atau regional sejatinya adalah promosi kepentingan nasional tiap-tiap negara-bangsa yang berbalut jargon-jargon kosmopolitanisme.
Substansi
Kita tidak bisa menghindar dari nasionalisme. Sejak gagasan itu lahir dan mengerucut di abad ke-18, semua entitas kultural bertransformasi secara politik menjadi sebuah nasion. Batas pemisah antarnasion sekarang didefinisikan secara politik. Karena politik, batas menjadi sangat penting. Kedaulatan tak dapat dinegosiasikan. Persoalannya, kedaulatan sebagai kepanjangan tangan nasionalisme sering didefinisikan secara ragawi-teritorial. Seolah kedaulatan hanyalah patok perbatasan yang dijaga tentara. Padahal, sering kali kedaulatan digerus tanpa satu pun kapal ikan asing masuk ke perairan suatu negara. Kedaulatan sebuah nasion harus dimengerti secara lebih substansial. Kedaulatan sejatinya adalah daya tawar negara-bangsa dalam percaturan global.
Kita berdaulat jika seluruh kontrak karya dengan perusahaan tambang asing dibuat berimbang dan saling menguntungkan. Kita berdaulat jika memproduksi obat penyakit tropis dari keanekaragaman hayati pertiwi sendiri. Sebaliknya, kita tak berdaulat jika kontrak karya menuntut interest return rate dipatok pada persentase tertentu dan jika tak tercapai negara berutang. Kita tak berdaulat jika kekayaan hayati kita dilarikan ke laboratorium negara lain dan kita dipaksa beli obat dengan harga mahal.
Sebagian kosmopolitanis mencemooh nasionalisme sebagai bentuk kekeraskepalaan. Mereka berpendapat, tidak ada satu pun negara-bangsa yang bisa berdiri sendiri di era globalisme dan regionalisme dewasa ini. Nasionalisme, bagi mereka, adalah rumah yang pagarnya selalu terkunci. Padahal, nasionalisme tidak sepicik itu. Semua negara-bangsa perlu satu sama lain. Namun, pergaulan antarnegara-bangsa selalu disandarkan pada prinsip saling menghormati dan menguntungkan. Tidak ada negara-bangsa yang ingin kedaulatannya diinjak-injak negara lain. Pintu rumah memang terbuka, tetapi kamar utama tetap tak bisa dimasuki.
Nasionalisme yang tidak picik dan substansial adalah sebuah pilihan politik yang tak dapat ditawar lagi. Kita tidak ingin menyandarkan nasionalisme kita pada ras atau etnis tertentu. Pengalaman hitam nasionalisme Jerman pada awal abad ke-0 merupakan pelajaran yang cukup berharga. Nasionalisme mesti bersandar pada kultur kewarganegaraan yang rasional dan wajar. Kultur kewarganegaraan menuntut negara melindungi segenap warganya tanpa kecuali. Tak peduli ras, etnis, atau bahasa, semua harus terlindungi. Ketika sebagian saudara kita di Papua masih tak sanggup menikmati pendidikan layak, nasionalisme kita masih jalan di tempat.
Konstruksi
Sebagai sebuah nasion, kita memang sedang dalam proses menjadi. Namun, kita sering khawatir jika nasionalisme yang terbentuk lantas menggilas kebebasan individu. Kita selalu mempertentangkan kepentingan individu dan kepentingan nasional. Kita sudah terbiasa dengan jargon ”menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi”. Lantas, kita pun segera waswas dengan kebijakan komponen cadangan yang diinisiasi militer. Seolah semua warga negara yang memenuhi syarat harus meletakan kepentingan pribadinya demi kepentingan bangsa dan negaranya. Tidak ada ruang negosiasi sama sekali.
Kekhawatiran ini bukan barang baru. Filsuf John Stuart Mill mengkhawatirkan sejenis nasionalisme yang menuntut individu mengorbankan kepentingannya demi bangsa dan negara. Dia khawatir jika nasionalisme menjadi kedok bagi otoritarianisme. Kepentingan nasional sering dijadikan alasan untuk memasung kebebasan warga negara. Padahal, kepentingan nasional berbeda dengan kepentingan rezim. Sebuah rezim bisa saja bertindak mengatasnamakan nasionalisme tetapi sesungguhnya sedang mengangkangi nasionalisme itu sendiri. Rezim yang menculik warganya atas nama kepentingan nasional, misalnya, jelas merupakan pengkhianat nasionalisme nomor satu. Kepentingan nasional yang terutama adalah hak asasi warga. Apabila masih ada warga yang terampas haknya, pemerintahannya bisa dipastikan ”tunanasionalisme”.
Mengikuti jalan pikiran Mill, nasionalisme adalah sesuatu yang konstruktif tidak destruktif. Hakikat nasionalisme adalah perlindungan bukan pemasungan. Lebih dari itu, bagi saya, proses menjadi nasion sejatinya sama dengan proses kreatif yang mendahului puisi. Dalam menyusun puisi, kita tidak bisa menghancurkan kata melainkan membiarkan setiap potensi semantik sebuah kata menyeruak keluar. Membangun nasionalisme pun tidak bisa dengan cara-cara doktriner yang memasung. Setiap potensi kultural sebuah nasion harus dibiarkan menjelma dan menciptakan mozaiknya sendiri. Namun, aksentuasi setiap potensi kultural tetap membutuhkan perlindungan politik. Dengan kata lain, proses menjadi nasion tidak lepas dari campur tangan politik.
Politik dan nasionalisme sungguh tidak dapat dipisahkan. Buktinya, dalam filsafat Mill, demokrasi dengan nasionalisme tidak selalu bersimpang jalan. Mill berargumen bahwa warga negara yang berbagi budaya nasional yang sama adalah syarat mungkin demokrasi. Baginya, institusi-institusi yang bebas tidaklah dimungkinkan dalam sebuah negara tanpa budaya nasional. Tanpa bahasa yang sama, misalnya, opini publik yang terintegrasi adalah kemustahilan. Budaya nasional, tambah Mill, juga berkontribusi pada nilai- nilai politik, seperti keadilan dan kesejahteraan. Budaya nasional berkontribusi pada rasa persaudaraan yang membuat keadilan bisa bergulir dengan mulusnya.
Tak berseberangan
Sekali lagi, kepentingan nasional tidak mesti berseberangan dengan kebebasan. Salah satu kepentingan nasional kita adalah kebebasan warga. Tak heran, negara sebesar Amerika dapat saja melancarkan operasi militer berbiaya tinggi hanya untuk menyelamatkan nyawa seorang warga negara. Sebaliknya, nyawa seorang TKI di Malaysia, seperti Wilfrida, tidak dianggap sebagai kepentingan nasional yang mendesak. Alhasil, nasib Wilfrida pun digantung pada kepentingan politik jangka pendek belaka, bukan nasional.
Apa pun, saat ini kita tengah menunggu pergantian rezim. Besar harapan jika rezim berikut nanti benar-benar mengantongi nasionalisme dalam setiap kebijakan politiknya. Rezim yang membuka pintu rumah tetapi tetap melindungi kamar utama. Sebuah rezim baru yang ”melek nasionalisme”.
Opini ini ditulis oleh Donny Gahrial Adian (Dosen Filsafat Universitas Indonesia) dan dimuat di Kompas pada 23 Oktober 2013