SOEKARNO SEBAGAI SEBUAH KONSEP
NAMA Soekarno, yang kemudian populer disebut Bung Karno, merupakan nama yang abadi dalam fakta sejarah Indonesia. Tidak bisa dimungkiri, dalam perjalanan sejarah Indonesia, nama Soekarno-lah yang paling sering disebut dan diperbincangkan. Sosok Soekarno memang memiliki pesona yang besar, baik dari sisi individu kepribadian maupun pemikiran-pemikirannya. Hidupnya pun, lazimnya tokoh-tokoh dunia, sering mengundang kontroversi dan polemik, mulai kisah cinta hingga biografi politiknya. Bahkan, di beberapa sisi, masih ada ’’misteri’’ bagi khalayak. Misalnya, akhir hidupnya.
Sayangnya, apresiasi dan pengkhidmatan kita selama ini terhadap sejarah hanya berhenti pada sekadar mitos serta sedikit hafalan tentang riwayat hidup para tokoh sejarah. Kita tidak pernah berusaha memahami, menelisik, atau menganalisis secara kritis pandangan-pandangan serta pemikiran-pemikiran mereka. Demikian juga dalam memandang sosok Soekarno. Kita (lebih-lebih mereka yang seusia dengan penulis yang lahir dalam kurun waktu yang jauh dari era Soekarno) di bangku sekolah (SD hingga SMA) hanya mengenal kecemerlangan beliau dalam perannya sebagai proklamator, pahlawan, sekaligus diktator yang populer. Sementara itu, pemikiran intelektual Soekarno sesungguhnya sehingga dianggap diskursus politik nyaris tidak pernah dikenalkan.
Tulisan pendek ini berusaha memahami kembali wacana intelektual Soekarno sebagai warisan, tidak bermaksud menghidupkan atau mendewakannya. Anggapan mendewakan Soekarno adalah prasangka yang berlebihan. Sebab, sesungguhnya pemikiran intelektual Soekarno telah hidup sebagai sebuah paradigma yang terbuka. Artinya, pemikiran-pemikiran intelektual Soekarno selalu abadi untuk ditelaah dan dikritisi. Dengan kata lain, pemikiran Soekarno sudah menjadi ilmu pengetahuan yang diperdebatkan, dikritisi, dan merangsang tumbuhnya teori baru di bidang politik serta ketatanegaraan.
Banyak pemikiran besar Bung Karno. Namun, menurut hemat penulis, ada empat konsep penting. Yaitu, nasionalisme, kedaulatan, kerakyatan, dan persatuan. Konsep-konsep tersebut sering dituangkan beliau dalam tulisan-tulisan serta pidato-pidatonya sejak prakemerdekaan hingga pasca kemerdekaan. Empat konsep itu pun sering dikemukakan Bung Karno secara utuh berkaitan satu dengan yang lain, bukan bagian demi bagian.
Dalam memandang konsep nasionalisme, Soekarno sangat terpengaruh pemikiran Otto Bauer, penulis kebangsaan Austria abad ke-19 (Dhakidae, 2013). Seperti juga Bauer, Soekarno mensyaratkan secara mutlak nasionalisme dengan keinginan untuk merdeka yang diprinsipkan sebagai jede Nationeine Statt: setiap bangsa satu negara. Pendapat Bauer tentang bangsa dalam bukunya, Die Nationalitatenfrage und die Sozial-democratie (1970), ditafsirkannya sebagai: satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter dan watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman (Soekarno,1964).
Pemikiran Ernest Renan, mahaguru Sorbonne University, Paris (1823–1892), juga sangat mengilhami pemikiran Soekarno. Mengutip Renan, Soekarno mensyaratkan kehendak bersatu untuk menuju kehidupan berbangsa. Dalam otobiografinya, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1 (1964), dikatakan: syarat adanya bangsa adalah kehendak akan bersatu dan mau bersatu. Bangsa adalah satu jiwa, une nation est us ame.Selain itu, satu bangsa adalah satu solidariteit (rasa kesetiakawanan yang besar), une nation est un grand solidarite.
Bagi Soekarno, melihat kondisi Indonesia yang beragam tuntutan setiap bangsa satu negara harus diikuti dengan hasrat dan keinginan untuk kesatuan nasional. Persatuan nasional berarti keharusan untuk menyingkirkan pelbagai perbedaan partikular dan kedaerahan serta membentuk front perjuangan melawan penjajahan (Cindy Adams, 2011). Kegandrungan pada persatuan dan kesatuan itu kelak memengaruhi kegigihan Soekarno yang mengobsesinya untuk mengawinkan gagasan-gagasan besar yang berseliweran di ruang politik kala itu seperti sosialisme, islamisme, demokrasi, dan liberalisme ke dalam sebuah ide baru yang dapat diterima orang.
Soekarno juga menganjurkan nasionalisme yang lebih luas serta egaliter yang keluar dari kepompong etnonasionalisme dan cengkeraman feodalisme (Im Yang Tjoe, 2008). Selain itu, mengkritik pandangan ideologi nasionalisme ’’gurunya’’, Tjokroaminoto, yang dipandangnya sempit karena selalu menggunakan lensa mikroskop Islam (Cindy Adams, 2011). Nasionalisme bagi Soekarno harus diikuti keadilan sosial yang secara lugas dikatakannya: Nasionalisme tanpa keadilan sosial adalah nihilisme.
Soekarno sangat memahami, dalam nasionalisme terdapat kekuatan energi, inspirasi, inovasi, kreativitas, dan vitalitas. Nasionalisme berperan menghimpun semua kekuatan, semua ketetapan hati dan tekad, untuk mengubah keseluruhan hidup berbangsa. Soekarno menolak nasionalisme yang bersifat agresif. Nasionalisme yang dicita-citakannya adalah ’’nasionalisme jang mentjari selamatnja perikemanusiaan’’(Di Bawah Bendera Revolusi hal 174). Nasionalisme itu sejalan dengan cita-cita nasionalisme Mahatma Gandhi, yaitu nasionalisme yang menjunjung tinggi perikemanusiaan.
Kerakyatan merupakan dasar pemikiran sosialisme Soekarno. Sosialisme merupakan salah satu ideologi yang digandrungi Soekarno. Dalam hal sosialisme, Soekarno mempunyai pandangan tersendiri, tidak sekadar copy paste sosialisme sebagaimana yang diteorisasikan konteks pemikiran Barat. Dengan tegas, dia mengatakan, Kuulangi bahwa aku seorang sosialis. Bukan komunis. Aku tidak akan menjadi komunis. Aku tidak akan menjadi seorang simpatisan komunis (Cindy Adams, 2011). Sosialisme Soekarno tidak sejajar dengan komunisme karena dua hal. Pertama, dia percaya pada demokrasi. Kedua, tidak memasukkan konsep materialisme karena Soekarno percaya dan bertakwa kepada Tuhan (Yudi Latif, 2013). Soekarno mengupayakan kontekstualisasi sosialisme ke dalam realitas sosio-historis keindonesiaan.
Kerakyatan sebagai dasar pemikiran sosialisme Soekarno menjadi khas sosialisme Indonesia yang kemudian disebut Soekarno sebagai marhaenisme.Istilah itu bermula dari perjumpaan Soekarno dengan petani miskin yang bernama Marhaen. Dalam berbagai tulisannya, Soekarno mendefinisikan marhaenisme sebagai asas dan perjuangan sosialisme ala Indonesia berdasar prinsip sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang menghendaki lenyapnya kapitalisme, imperialisme, serta kolonialisme.
Pada 17 Agustus 1964, dalam sebuh pidato yang berjudul Tahun ViVere Pericoloso (Tavip),Soekarno menekankan tiga paradigma besar yang bisa menjadi pendorong bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh menjadi bangsa yang besar. Tiga paradigma itu disebut Trisakti. Yaitu, tiga daulat: berdaulat dalam politik, berdaulat dan berdikari dalam ekonomi, serta berdaulat dan berkepribadian dalam kebudayaan. Tiga daulat Trisakti itu merupakan sebuah terobosan konsep untuk menegakkan keadilan sosial demi mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. Trisakti itulah yang menjadi inti nation and character building. Trisakti itulah yang seharusnya menjadi tumpuan konsep orientasi kita ke depan yang harus diterjemahkan dalam langkah-langkah yang riil serta strategis.
Sayang sekali, selama ini konsep berdaulat yang digaungkan Soekarno sejak hampir seabad lalu sering hanya menjadi perbincangan sebatas wacana. Istilah berdaulat hanya dipandang sebatas mantra yang diulang-ulang, dianggap suci dan mandek. Berdaulat sebatas wacana, tidak pernah dielaborasi dalam tataran yang lebih praktis. Sebenarnya secara konseptual Ki Hajar Dewantara sudah merespons konsep kedaulatan Soekarno dengan menarasikannya dalam tiga aspek. Bagi Ki Hadjar Dewantara, suatu bangsa dianggap berdaulat bila memiliki tiga aspek. Pertama, independen atau memiliki otoritas sendiri. Itu berarti menolak segala bentuk penjajahan dan interverensi. Kedua, bangsa yang berdaulat menolak pembodohan. Ketiga, bangsa yang berdaulat menolak ketergantungan.
Akhir kata, sekali lagi, tulisan ini tidak hendak mendewakan Soekarno. Hanya merupakan upaya kecil untuk mempelajari, memahami, serta mengkritisi kembali sejarah pemikiran politik dan kebangsaan Indonesia yang telah dipikirkan para pendahulu kita untuk merajut masa depan yang lebih berharkat, bermartabat, berkeadilan, dan berkemakmuran. MERDEKA!
Opini ini ditulis oleh Tjahjono Widarmanto (Guru SMAN di  Ngawi, Sastrawan, Penggiat Majalah Sastra Kalimas) dan dimuat di Jawa Pos 11 Agustus 2014.