Opini

INTELIJEN DAN UU ANTI TERORISME

Tragedi bom Thamrin pada pertengahan Januari 2016 telah memunculkan diskursus tentang perlunya pemberian kewenangan kepada intelijen untuk menangkap. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso sudah menyatakan bahwa revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu mencakup pemberian kewenangan menangkap dan menahan kepada intelijen/BIN agar kerja penanganan terorisme di Indonesia lebih efektif. Beberapa jajaran pemerintah dan pengamat berpandangan sebaliknya. Bahkan, mantan Kepala Badan Intelijen StrategisSoleman Ponto menyatakan, intelijen tak perlu memiliki kewenangan menangkap. Menurut Soleman, BIN hanya perlu jeli mengatur strategi dalam menjalankan tugas dan bisa bekerja sama dengan kepolisian, khususnya dalam menangani terorisme.

Diskursus mengenai pemberian kewenangan menangkap bagi intelijen bukanlah hal baru di Indonesia. Perdebatan ini pernah memanas saat perumusan RUU Intelijen dalam kurun 2009-2011. Bagi pihak yang mendukung ide kewenangan menangkap, rasionalitas yang diajukan dulu tidak jauh berbeda dengan saat ini: sering kali informasi intelijen tak mendapat perhatian serius dari aparat penindak; dan ketika suatu tragedi buruk menimpa, tak jarang intelijen menjadi kambing hitam. Menurut pandangan ini, pemberian kewenangan menahan dan menangkap bagi intelijen akan menjadi suatu langkah pencegahan yang efektif.

Meski demikian, bahwa ide pemberian kewenangan menangkap ini tidak diakomodasi pada UU 17/2011 tentang Intelijen Negara tentu atas dasar pertimbangan yang tak kalah penting. Pengalaman masa lalu Indonesia, baik pada masa Kopkamtib maupun sebelum terbentuk UU Intelijen, telah menunjukkan bahwa aksi penangkapan oleh intelijen tidak banyak berkorelasi dengan keefektifan pencegahan suatu tindak kriminal atau kejahatan. Yang terjadi justru semakin marak kasus penyalahgunaan kewenangan atau bahkan penyimpangan intelijen, ketika pada akhirnya prinsip negara hukum, demokrasi, hak asasi manusia, atau bahkan profesionalisme intelijen itu akan jadi taruhan.

Kembalinya diskursus lama setelah bom Thamrin sesungguhnya dapat dipahami pada tingkatan psikologis—sebagai insting memperkuat pertahanan diri—pasca serangan. Namun, upaya penguatan ini tentu perlu tepat dan tidak emosional, yaitu dengan mempertimbangkan hakikat dan fungsi intelijen itu sendiri serta pengalaman panjang bangsa ini.

Apakah Intelijen Kebobolan?

Mengambil kesimpulan bahwa intelijen memerlukan kewenangan menangkap adalah tergesa-gesa. Intelijen pada negara demokratis mana pun memiliki tugas pokok bukan untuk menangkap, tetapi hanya sebatas memberikan informasi/hasil analisis sebagai peringatan dini pada pengambil kebijakan/keputusan agar dapat menentukan langkah yang tepat terhadap kondisi tertentu.

Dalam konteks bom Thamrin, BIN sudah melaksanakan tugas dengan memberikan peringatan tentang kemungkinan serangan teroris antara Desember-Januari, sebagaimana dinyatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan. Pada konteks itu perlu dipahami bahwa apa yang dipertanyakan masyarakat sebagai ”kebobolan intelijen” adalah analisis intelijen yang terkesan belum detail dan belum menyentuh hingga kelompok atau lokasi serangan, terlebih para pelaku teror adalah mantan terpidana teroris yang seharusnya masih terpantau lembaga intelijen.

Perlu diakui, bukanlah perkara mudah memprediksi kelompok atau lokasi serangan, tetapi bukan berarti lembaga intelijen tidak berupaya. Evaluasi terhadap kerja analisis intelijen perlu senantiasa dilakukan demi perbaikan kerja intelijen di masa depan karena kegagalan berulang dalam mengidentifikasi dadakan teknis sesungguhnya menunjukkan persoalan serius pada kerja intelijen. Pemerintah AS pun pernah melakukan hal serupa terhadap CIA pasca peristiwa 11 September–ketika hasil evaluasi menunjukkan bahwa informasi terkait 11 September sudah didapatkan, hanya saja belum terpilah secara komprehensif. Kiranya kejelasan yang sama perlu kita dapatkan demi peningkatan rasa aman masyarakat.

Kalaupun hasil evaluasi nanti menunjukkan bahwa intelijen atau BIN sudah memprediksi hingga ke tingkat kelompok dan lokasi serangan, tetapi tidak ada tindak lanjut dari aparat penegak hukum, persoalannya bukan terletak pada kekurangan kewenangan, tetapi kurang koordinasi antar-aparat keamanan. Apabila persoalan koordinasi ini ”diselesaikan” dengan pemberian kewenangan menangkap untuk intelijen, yang terjadi bukanlah menyelesaikan persoalan, tetapi semakin memperumit persoalan.

Penting dipahami, lembaga intelijen berbeda dengan lembaga penegak hukum. Keberadaan intelijen yang ditujukan untuk menguak informasi rahasia lawan tentu memiliki karakteristik yang lekat dengan kerahasiaan. Pada konteks itu, bagaimana akuntabilitas suatu penangkapan rahasia oleh intelijen dapat dipertanggungjawabkan ke publik? Bagaimana memastikan bahwa kewenangan ini tak disalahgunakan pihak-pihak yang tak bertanggung jawab? Ini tentu berbeda dengan aparat penegak hukum: setiap penangkapan harus dipertanggungjawabkan secara terbuka di depan pengadilan.

Lebih jauh, apabila masih dipaksakan, pemberian kewenangan menangkap pada intelijen juga akan memunculkan ketumpangtindihan wewenang dengan aparat penegak hukum di tataran operasional. Pada konteks itu pula, apa yang dikatakan Zulkifli Lubis tentang intelijen sebagai ”prajurit bayangan yang berperang dalam perang adu pintar” akan bisa kehilangan maknanya.

Perkuat Kemampuan

Dalam perang adu pintar, kemampuan analitis para ”prajurit bayangan” ini menjadi modalitas utama. Kemampuan mendapatkan, mengolah, memilah, hingga menganalisis suatu informasi merupakan jantung kerja intelijen dan sesungguhnya dapat menjadi salah satu upaya pencegahan yang paling efektif. Namun, intelijen bukan bak cenayang yang dapat meramalkan masa depan dari bola ramal.

Penguatan kemampuan intelijen ini perlu dilakukan mulai dari pemilihan kapabilitas manusia yang benar-benar pernah mengenyam pendidikan intelijen ataupun ahli di bidang tertentu hingga tersedianya dukungan kapasitas teknologi dalam pengumpulan informasi.

Selain itu, komitmen dalam mendorong profesionalisme intelijen juga perlu datang dari pengguna informasi intelijen dan Komisi Pengawasan Intelijen DPR. Tanpa dukungan pihak-pihak ini, tak jarang intelijen pun dapat terjatuh ke dalam pusaran politik praktis dan berakhir tidak maksimal dalam menjalankan tugas mengidentifikasi ancaman keamanan.

Frase ”berhasil tidak dipuji, gagal dicaci maki, dan hilang tidak dicari” sering digunakan mendeskripsikan intelijen. Meski tak dipuji, dimaki, bahkan tak dicari, bukan berarti peran mereka tak signifikan terhadap negara ini. Oleh karena itu, penguatan intelijen merupakan suatu keniscayaan, tetapi perlu dilakukan secara tepat: perkuat kemampuan, bukan kewenangan.

Opini ini ditulis oleh Diandra Megaputri Mengko (Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI) dan diterbitkan Kompas pada 24 Februari 2016.